"Marandang"; Makna, Filosofi dan Sejarahnya


 

"Marandang"

Makna, Filosofi dan Sejarahnya

Siapa yang tidak pernah mencicipi masakan yang beberapa kali ditasbihkan sebagai makanan terenak dan terlezat dunia ini? Makanan yang berasal dari Tanah Sumatera tepatnya Ranah Minangkabau sangat kaya akan rempah, daging yang empuk dan gurih, dengan ciri warna yang gelap, namun uniknya Randang diklaim menjadi makanan yang tahan lama atau awet. Tentu, sebagai produk budaya, Randang memiliki makna, filosofi serta nilai sejarahnya. Dan makna dan penamaan Randang ini ternyata bukan hanya pada olahan daging sapi/kerbau saja lhooo... Dan kenapa ada Randang yang masih kemerahan dan basah lalu ada pula randang yang kering serta bewarna gelap? Kuy check it out here...!!
A. Terminologi Randang
Randang berasal dari kata kerja “marandang” dalam kosa kata Minangkabau, yang berarti masakan yang menihilkan air di dalam kandungan samba (masakan) tersebut. Karena kandungan airnya ditiadakan / dinihilkan, makanya ini menjadi salah satu indikator kenapa masakan Randang itu bisa bertahan lama atau awet.
Sementara kata “randang” itu bermakna untuk produk dari “marandang” tadi. Nah, produk Randang itu sebenarnya tidak hanya diberikan kepada Randang Daging Sapi/Kerbau yang biasa kita konsumsi atau yang umum kita kenal dan temui di warung-warung makan nasi Padang saja, ternyata yang dinamakan “randang” tidak sesempit itu lhoo. Ada beberapa produk “marandang” yang ada dan dikenal oleh masyarakat Minangkabau, di antaranya :
1. Randang Daging (Sapi/Kerbau)
2. Randang Ayam
3. Randang Itiak (itik)
4. Randang Belut
5. Randang Lokan
6. Randang Bareh / Bareh barandang
7. Jaguang Barandang
8. Randang Talua
Dari macam-macam produk randang di atas, bukan berarti semua rempah atau bumbu yang dipakai sama semua, bahkan beberapa jenis randang di atas memiliki teknis memasak yang cukup berbeda, namun satuhal yang menjadi ciri khas dari produk randang itu adalah tidak memiliki kandungan air lagi setelah selesai di masak (ingat air bukan minyak).
Jadi pada dasarnya, jika bahan pokok marandang itu adalah ayam, maka hasilnya dinamakan Randang Ayam, jika bahan pokoknya Belut, maka akan dinamakan Randang Belut, begitu selanjutnya. Sementara terkadang ada beberapa bumbu yang memang berbeda antara randang tsb, hal ini dikarenakan perbedaan dalam mengolah bahan pokok yang akan dirandang tersebut. Perlakuan terhadap daging sapi/kerbau tentu beda ketika menangani daging ayam, itik maupun belut. Namun, dalam pembahasan kita ini, tentu kita akan lebih terfokus kepada Randang Dagiang (Sapi/Kerbau) yang telah mendunia dengan nama familiarnya Rendang dalam kosa kata bahasa Indonesia. 
 
B. Sejarah Randang
Menurut catatan yang tertulis abad ke-19, diketahui bahwa Randang telah ada dari abad 16. Saat itu, orang Minang atau Minangkabau telah sering bepergian ke Selat Malaka dan Singapura.
Catatan lainnya, menyebut bahwa Randang sudah ada dari sejak Kerajaan Pagaruyuang, pada masa Raja Adityawarman (1347-1375 M). Tapi daging yang digunakan saat itu adalah daging kerbau bukan daging sapi. Hal ini mungkin identik dengan kebiasaan orang Minangkabau yang lebih dekat dalam kesehariannya dengan hewan peliharaan kerbau, bahkan kerbau menjadi salah satu hewan yang wajib d sembelih dan dimasak dalam "alek gadangnya Batagak/Malewakan Gala Panghulu”.
Selain itu, keberadaan Randang juga tercatat dalam catatan tertulis orang Belanda, bernama Kolonel Stuers di tahun 1827. Dalam tulisannya, Stuers tidak spesifik menyebutkannya Randang, namun ia menyebut sebuah makanan yang dihitamkan dan dihanguskan. Ciri tersebut tentu cocok dengan ciri-ciri Randang yang memang dimasak hingga kering dan bewarna gelap.
Namun, jika kita melihat tradisi Merantau yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Minangkabau, Randang ditafsir lahir karena tradisi ini. Kita ingat, marantau yang dilakoni oleh masyarakat Minang itu sudah sangat lama, hal ini dimulai dari tradisi berpergian masyarakat Minangkabau keluar dari kampungnya (keluar dari 3 wilayah intinya) yang pada mulanya bermukim di wilayah pedalaman. Kita tentu ingat, masyarakat Minangkabau mulanya dikenal sebagai masyarakat Agraris. Kita bisa lihat, 3 wilayah inti dari kebudayaan Minangkabau ini berada di wilayah Salingka/Selingkaran Gunung, dengan model mata pencahariannya adalah bercocok tanam, 3 wilayah inti ni lebih dikenal dengan nama Luhak Nan Tigo; Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak 50 Koto.
Lain kali saya akan menuliskan mengenai rantau, apa itu rantau, sabab musabab serta pola merantau Masyarakat Minangkabau, untuk sekarang mari kita berfokus kepada Marandang. Randang menjadi bekal makanan selama dalam perjalanan ke daerah rantau atau bahkan saat berangkat menunaikan ibadah haji semenjak agama Islam sudah dianut oleh masyarakat Minangkabau. Perjalanan yang tak singkat secara waktu di kala itu, dikarenakan transportasi yang digunakan masih sangat tradisional, seperti menggunakan pedati, kuda atau bahkan dengan berjalan kaki. Dengan ketahanan randang, randang selalu menjadi menu yang di bawa menuju rantau, makanya tak heran randang dikenal juga di berbagai wilayah terutama di semenanjuk malaya. 
 
C. Jenis Randang
Randang dikategorikan bukan hanya dari bahan pokok yang digunakan, seperti daging sapi/kerbau, daging ayam, daging itik, belut atau yang lainnya. Tapi randang juga dibedakan dari cita rasa, bentuk dan wilayah asalnya. Berdasarkan 3 indikator ini, randang dibagi atas 2 jenis, yaitu :
1. Randang Darek
2. Randang Pasisia
Randang Darek adalah randang yang berasal dari wilayah darek (daratan), yaitu Luhak Nan Tigo atau dikenal sebagai wilayah inti dari masyarakat Minangkabau itu sendiri. Randang Darek ini berkarakter lebih kering, lebih hitam pekat dan citarasa nya belum kompleks dari segi rempah. Kenapa? Karena dalam catatan sejarahnya, rempah-rempah seperti lada, pala dan sebagainya itu bukanlah asli berasal dari tanaman dalam negeri. Berbeda dengan Randang Pasisia, citarasa rempahnya lebih kaya dan kompleks, karena terjadinya aktifitas perdagangan rempah di wilayah pesisir dengan saudagar-saudagar yang datang dari luar negeri.
Selain itu, Randang Pasisia dari segi bentuknya lebih merah, sedikit lebih basah (berminyak). Satulagi, Randang Darek biasanya diberikan campuran tambahan pendamping bahan pokok, seperti baby potato (kentang yang kecil-kecil) atau kacang merah bahkan ubi cancang (ubi kayu yang di potong dadu digoreng kering). Hal ini bisa kita artikan, bahwa wilayah darek memang kaya akan hasil buminya akibat dari aktifitas bercocok tanam.
Namun, ada pula yang memberikan penamaan kedua jenis Randang ini dengan istilah Randang Kering dan Randang Basah. Jika kita lihat faktor penamaan ini, maka kita dapat katakan dari segi penampilannya bahwa Randang Kering untuk Randang Darek, dan Randang Basah untuk Randang Pasisia. 
 
D. Filosofi Randang
Durasi masak hingga berjam-jam lamanya merupakan ciri khas masakan randang yang tidak dimiliki oleh kebanyakan masakan lainnya. Rupanya bagi masyarakat Minangkabau memasang randang memiliki nilai filosofi tersendiri, yakni: kesabaran, kebijaksanaan, dan ketulusan hati.
Selain itu, Randang memiliki filosofi tersendiri yakni musyawarah dan mufakat, hal ni diambil dari makna dan analogi terhadap bahan-bahan yang digunakan. Bahan-bahan ini mempunyai makna/simbol serta merupakan lambang keutuhan masyarakat minangkabau yang tidak semua orang mengetahui.
1. Daging Melambangkan Ninik Mamak.
Ninik Mamak merupakan lembaga adat yang terdiri atas beberapa pemimpin atau disebut sebagai penghulu dari berbagai klan dan kaum yang memimpin kelompoknya sehingga klan atau kaumnya bisa hidup dengan harmonis dengan norma yang sudah ada. Kepemimpinan penghulu diwariskan secara turun- temurun sebagai adat matrilineal minangkabau.
2. Kelapa Melambangkan Cadiak Pandai.
Cadiak Pandai atau juga disebut Kaum Intelektual merupakan golongan masyarakat yang dianggap pandai dan memiliki pengetahuan yang luas, mereka ditugaskan nt membantu pemimpin adat untuk memecahkan masalah. Status ini bisa didapatkan siapa saja asal mereka berpengetahuan luas.
3. Cabai Melambangkan Alim Ulama.
Alim Ulama adalah orang yang secara tegas menegakkan syariat sesuai dengan ajaran agama. Seperti cadiak pandai, status ini tidak diwariskan secara temurun melainkan didapatkan.
4. Bumbu Melambangkan keseluruhan masyarakat Minangkabau
Bumbu seperti menggambarkan warga serta kondisinya Minangkabau sangatlah banyak dan beraneka ragam. Masyarakat Minangkabau terdiri dari berbagai suku, seperti suku Chaniago, Koto, dan Piliang.
Bahkan pada mulanya, setiap anak Perempuan dirasa sudah pas atau matang untuk dinikahkan, Ketika ia sudah bisa mengolah atau memasak Randang. Kenapa? Karena Randang selain sebagai samba (masakan), ia juga memiliki fungsi dan kedudukan dalam tataran adat Minangkabau. Randang memiliki peran penting dalam setiap menu hidangan adat, ia diberi julukan sebagai Si Kapalo Samba (Kepala dari semua masakan/menu hidangan) yang terhidang dalam setiap perjamuan adat.
Namun uniknya, Randang dalam prosesi atau jamuan adat tersebut dibuat dan dihidangkan dalam dua bentuk atau 2 versi. Randang yang dihidangkan sebagai kapalo samba, ukuran dagingnya besar, bahkan bisa 1 potong daging Randang sebagai Kalapo Samba itu berbobot setengah sampai sekilo. Sementara Randang yang dihidangkan untuk menu perjamuan yang bisa dimakan atau dicicipi dalam perjamuan tersebut bentuknya seperti randang biasa yang dipotong dengan ukuran standar randang yang biasa kita makan atau kita beli di warung-warung makan nasi Padang.
Randang si Kapalo Samba ini dalam perjamuan atau prosesi adat wajib ada, seperti dalam prosesi hidangan Alek (Pesta) Batagak Gala Panghulu, Alek Perkawinan (Baralek), dan alek lainnya. Randang Si Kapalo Samba ini sebagai simbol bahwa tuan rumah atau yang mengadakan prosesi/jamuan adat tersebut siap atau mampu menghidang dan memberi makan untuk semua tamu undangannya.
Kalau berbicara Kapalo Samba, di beberapa nagari di Minangkabau terkadang bukan hanya Randang saja yang terhidang di Tengah menu hidangan, tapi terkadang juga ditemani oleh Singgang Ikan yang besar dan utuh, atau Singgang Ayam Utuh, Galamai yang utuh (tidak dipotong-potong). Dan posisi Kapalo Samba itu agak ditinggikan dan berada di pangkal dan di tengah menu hidangan lainnya. 
 
E. Teknik Memasak Randang
Dalam memasak Randang, bukan hanya persoalan durasi memasaknya saja, tapi ada beberapa langkah hingga Randang itu jadi. Langkah yang dilalui dalam memasak randang itu adalah :
1. Gulai
Di sini penampakan randang berkuah santan yang masih encer tercampur dengan bumbu-bumbunya.
2. Kalio
Kalio adalah proses Randang setengah jadi, dimana santan / kuah randang sudah mulai mengental, mengeluarkan banyak minyak dari santan dan dagingnya serta sudah mulai tercium aroma randangnya.
3. Randang
Di sini air santan sudah mengering, minyak-minyak yang keluar dari santan dan daging di saat Kalio sudah sebagian besar diserap oleh daging, sehingga dadak atau bumbu-bumbu halus bewarna gelap / hitam dari randang itu semakin banyak terlihat melumuri daging randang. Satu tanda randang itu sudah jadi adalah ketika kita membelah dagingnya, tekstur dagingnya sudah padat tapi empuk, serat dagingpun sudah bewarna gelap mengikuti warna dadak randang.
Terserapnya minyak randang ini ke dalam daging dan semakin keringnya ini randang, menjadi faktor utama kenapa randang itu bisa tahan lama dan awet. Pertama karena kandungan airnya yang sudah nihil, kedua daging sudah berpadu dengan minyak randang yg keluar dari santannya dan matang secara sempurna, tentu pula dengan bumbu yang sudah meresap dengan sangat baik ke dalam serat daging randang.
Bagi masyarakat Minangkabau, memasak randang atau mengolah randang tidak sehari jadi/selesai. Tapi memasaknya itu dengan santai, pelan-pelan, dan memakan waktu beberapa hari. Tapi makna "beberapa hari" di sini bukan berarti dimasak terus menerus hingga beberapa hari, tapi dimasak secara berangsur-angsur atau dicicil. Misalkan pertama di masak dalam tempo 4 jam, lalu besok atau beberapa jam setelah itu, dipanasi lagi (dimasak) selama 2 jam, dan dijeda lagi begitu seterusnya sampai menjadi randang secara sempurna. Hingga kalau dikalkulasikan butuh banyak waktu untuk bisa jadi randang yang siap dihidangkan dan disantap. Sehingga di dalam prosesi adat yang akan diadakan, Randang itu biasanya telah mulai dimasak jauh hari sebelum acara/prosesi adat tersebut.
So, Randang ternyata bukan hanya sebagai jenis masakan atau kuliner khas dari masyarakat Minangkabau, tapi randang mempunyai kedudukan penting dalam tradisi adat Minangkabau itu sendiri, makanya masyarakat Minangkabau pernah meradang ketika produk budayanya ini dilecehkan dg penggunaan bahan pokok yg non halal, karena itu bertentangan dg filosofi adatnya "Adaik basandi syara', syara' basandi kitabullah".
Bagaimana guys, tertarik untuk memasak randang di menu lebaran ini?? 🤤🤤😆😆
#7PetalaLautPustaka
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumah Gadang; Rumah Tradisional Minangkabau

Pengantar Ilmu Antropologi - Koentjaraningrat